Senin, 15 April 2013

Yang di Atas, Yang Bisa Melihat Apa Saja

Adam memang jago memanjat. Hanya dengan tangan kosong dipadu kaki rekat bak cicak, ia mampu menyusuri batang vertikal kelapa dengan cepat, meraih buah kelapa yang masih di tangkai. “Ini nih, nikmatnya makan kelapa langsung dari pohonnya!”, paparnya angkuh. 

Schemer yang tak semeter pun mampu memanjat, duduk uring-uringan di bawah. Wajahnya muram, melihat kejayaan Adam berhasil menggapai kelapa langsung dari pohonnya. Schemer pun hanya bisa pasrah. “Whooi, bagi kelapanya donK!”, pekik Schemer yang hanya bisa meminta dari bawah.

Alih-alih melempar kelapa ke bawah, Adam justru turun dari pohon. Ia turun dengan tangan kosong, tanpa memedulikan Schemer yang sedang ngidam kelapa. Melihat itu, Schemer makin uring-uringan, “Ah, kau ini, gak setia kawan! Mentang-mentang bisa manjat, malah makan sndiri di atas!” Keputusan Adam bukan tanpa alasan, “Maaf, di atas ada serangan lebah, aku aja nggak jadi makan!”

***

Coba kita logikakan cerita di atas dengan versi perkantoran. Seorang atasan duduk di ruangannya, menyendiri dari para anak buahnya. Tiba-tiba datang seorang anak buah yang menenteng sebuah proposal ide brilian. Cling cling cling… Anak buah tadi pun membahasnya bersama sang atasan. Bicaranya semangat dan menggebu-gebu. Optimismenya muncul berbuncah-buncah. Namun, apa yang terjadi?

Ternyata sang atasan tidak menerima ide itu. Hati anak buahnya pun dibuat sakit. Hm… Lalu, apakah perlu anak buahnya menorehkan rasa benci membara berujung balas dendam? 

Hm… Agaknya, kita perlu coba menyambungkan korelasi kisah pertama dengan kisah kedua melalui pertanyaan; Bagaimana jika saran usul kita tidak diterima oleh seseorang yang jabatannya berada di atas kita? Nah, itu dia letak persamaan masalahnya.

Sederhana saja; atasan adalah orang yang memang berdiri di atas, sehingga ia bisa melihat keadaan dengan sangat baik. Sementara bawahan memandang dengan visualisasi yang lebih sempit, karena memang letaknya di bawah, terfokus di satu titik area itu saja. Tidak meluas. 

Lalu, kenapa bawahan tidak maklum? Nah, lho! Selayaknyalah bawahan berpositif thinking sembari mengonfirmasi; apa sih, letak kesalahan di balik ide brilian tadi? Siapa tahu bisa diperbaiki menjadi ide yang makin brilian. Pada akhirnya, perlu komunikasi yang baik antara bawahan dengan atasan.

***

Ujung-ujungnya, kita bicara tentang konteks langit. 

Allah pun begitu. Allah Maha Tinggi dengan Segala Ketinggian, Kebesaran, dan Kemaharajaannya. Dia mampu melihat sudut pandang yang tak mampu dijangkau manusia. Sehingga jika ada seorang hamba-Nya yang berdoa dengan suatu doa yang brilian, ups, maksudnya doa yang sangat ia harapkan, tapi kok tidak terkabul-kabul. Hm… Maka, boleh jadi Allah sedang melihat visi ke depan yang jauh lebih baik ketimbang visi hamba-Nya. Lalu, kenapa kita tidak bersabar? Nah, pada akhirnya, kembali kita tekankan, perlunya komunikasi (ibadah) yang baik antara hamba kepada Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar