Jumat, 19 April 2013

Fitnah dan Ujian Umat Islam (1/3)

Herry Nurdi sempat mampir ke Kampus STAN (13/4/2013). Walau kala itu malam menghadang, peserta ta’alim terjaga dalam semangat terhunjam. Termasuk sosok nur4syamsudin yang dari jauh seolah asyik nge-game di BB, padahal sedang merangkai hikmah di catatannya. Alhamdulillah, rangkaian hikmah berhasil dikemas dalam tiga seri kajian. Let’s check the note out :D


Fisik lemah itu ibarat jenggot panjang, tapi nafasnya pendek; demikian catatan pertama yang berhasil direkam. Fisik lemah takkan mampu mengimbangi ghirah para relawan Rohingya yang harus berjalan semalam suntuk demi membantu umat muslim di tanah Burma. Sejenak membicarakan muslim di sana, lantas membahas muslim di Suriah. Nah, di Suriah ini, fitnah kental menggelayut. Terbukti dengan diunggahnya video hoax Syekh Buthi. Di video itu, terlihat sosok syekh dibunuh keji, tapi angle kamera seolah tak berkutik, ironis dengan getaran hebat imbas dari ledakan bom. Hal ini meresonansikan adanya orkestra merdu dari fitnah kezaliman Bassar al Assad.

“Tidak beriman di antara kalian sampai kalian mencintai saudara semuslim melebihi cinta pada diri sendiri”, demikian penggalan sebuah hadits yang tercermin mudah, namun sulit diamalkan. Seperti pada kasus sengketa Kesultanan Sulu versus Malaysia antar-dua pihak muslim. Padahal ada hadits yang cukup miris; jika dua orang muslim bertikai maka keduanya masuk neraka. Na’udzubillah.

Setidaknya ada 6 macam sengketa berlabel muslim di ASEAN sebagaimana dikupas Ustad Herry: 1) isu terorisme di Indonesia; 2) etnik Pattani di Thailand; 3) Sulu vs Malaysia; 4) muslim Vietnam; 5) Rohingya di Burma; 6) muslim Timor. Sebagai contoh, etnik muslim Pattani sejatinya pernah mengharap Presiden Soekarno untuk memasukkan wilayah mereka ke Indonesia berdasar latar agama. Namun, sang presiden menolak. “Indonesia punya kesamaan latar sejarah”, katanya. “Yakni, sama-sama dijajah Belanda.” Satu alasan yang mengubur harapan Pattani kala itu, untuk menyatu dengan negeri bermayoritaskan muslim. Di sisi lain, batas wilayah Indonesia sudah diukur melalui deklarasi Juanda (yang namanya dinobatkan menjadi bandara di Surabaya). Sebuah celetukan miring dari Ustad Herry, yang melebihpentingkan deklarasi Juanda ini, ketimbang Sumpah Pemuda atau Proklamasi. “Ini menyangkut batas teritori negara kita”, tuturnya.

Melangkah dari sengketa menuju kisah sahabat; diriwayatkan ada dua sahabat yang bingung tatkala sedang perang, mereka mendapati musuhnya bersyahadat ketika nyawa sudah di ujung pedang. Kedua sahabat berdiskusi alot. “Kita bunuh saja! Dia pasti bersyahadat supaya gak dibunuh!”, tutur seorang sahabat. Singkat kata, dibunuhlah si musuh tadi. Esoknya, Rasulullah Saw mengumpulkan laporan. Mendengar laporan tentang musuh yang dibunuh padahal bersyahadat, Rasulullah pun menginterogasi dua sahabat tadi. “Kenapa kalian bunuh, padahal ia bersyahadat!”, kata Rasul. “Ia bohong ya Nabi, cari alasan saja biar selamat!”, kata sahabat. “Kenapa kalian bunuh, padahal ia bersyahadat!”, Kembali Rasulullah mengulang hingga tiga kali. Tak punya alas an kuat lagi, dua sahabat terdiam. Rasulullah akhirnya memberikan pencerahan, “Kenapa tidak kalian buka dulu dadanya, supaya kalian tahu bahwa ia memang bersyahadat?” Gara-gara hal itu, sahabat tadi bertutur miris, “Andai ibuku tak pernah melahirkanku!”

Kontemplasi dan relasi atas sengketa muslim dengan hadits di atas adalah bahwa kita lebih mudah berantem daripada akur. Prasangka kita lebih cenderung mengedepankan keburukan, ketimbang kebaikan. Dalam kasus sengketa sosial masyarakat dunia muslim, baik non-muslim maupun muslim sendiri, mereka lebih mudah dipertarungkan daripada diperdamaikan. Yahdikumullah! (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar