Sebuah simposium di Cambridge
University (Inggris) membahas sebuah cagar ilmu kuno dari tanah Jawi yang tersimpan rapi di sana. Ustad Herry Nurdi, aktivis sekaligus penulis buku
konspirasi sempat memaparkan pengalaman mengikuti simposium tersebut di
Masjid Baitul Mal, Kampus STAN (12/4/2013). Kata beliau; cagar ilmu tersebut berupa
sebuah kitab berhuruf Arab Jawi (Melayu kuno) yang ditulis oleh ulama asal Indonesia. Anehnya, kitab tersebut membahas bukan tentang agama Islam, melainkan panduan memotong dahan tanaman kebun.
Hm… Lalu apakah benar buku itu hanya bersifat biologis saja walaupun ditulis oleh ulama
nenek moyang kita? Kita akan kupas di sini dalam tiga saran sederhana.
Saran pertama: Potong
dahan yang menukik ke arah timur. Saran ini terdengar sederhana dan biasa
saja. Walau seolah beraroma klenik, poin pertama ini ternyata punya landasan
ilmiah. Jika kita memotong dahan yang mengarah ke timur, itu artinya kita
memotong dahan yang pertumbuhannya paling cepat karena efek sinar matahari
pagi. Singkat kata, dengan memotong dahan tersebut, sejatinya kita sedang
memberikan kesempatan dahan lain untuk tumbuh.
Sebuah analogi memberi indikasi bahwa tatkala punya ruh
(keimanan) yang kuat, kita tidak serta merta memiliki ruh itu seorang diri.
Kita punya andil dalam membagi ruh itu kepada orang lain agar sama-sama
mendapatkan kebangkitan ruh, yang diibaratkan dengan tercurahnya sinar matahari
pagi dari timur. Kita bisa lakukan dengan aksi berbagi ilmu, berbagi hikmah,
berbagi inspirasi.
Saran kedua: Jangan
potong dahan tanaman ketika ayyamul bidh (3 hari tengah bulan qomariyyah;
tanggal 13,14,15). Sekilas kita anggap ini klenik, praktis karena bukunya
pun berhuruf Jawi kuno. Namun, usut punya usut, saran ini ternyata sejalan
dengan ranah ilmiah. Saat ayyamul bidh, bulan menampilkan sosok purnamanya.
Saat itu pula, terjadi pasang naik air laut. Itu tandanya, tanaman sedang
asyik-asyiknya memperoleh bekal makanan terbanyak karena air tanah sedang
berada pada kondisi optimalnya. Karena itulah, kita tidak dianjurkan memotong
dahan saat kondisi alam ini.
Kondisi ini sejalan dengan ruh kita saat ayyamul bidh
terjadi. Rasulullah mewasiatkan Abu Dzar Al-Ghifari tiga bentuk ibadah berupa shalat
dhuha, shalat witir sebelum tidur, dan puasa 3 hari ayyamul bidh (HR Bukhari
dan Muslim). Itulah kenapa, kita dianjurkan berpuasa supaya ruh dalam kondisi asyik
memperoleh bekal keimanan, supaya ruh sekuat mungkin pada 3 hari itu. Hm... terlepas
dari 3 hari tersebut yang rentan bencana akibat kondisi bumi dipengaruhi
purnama.
Saran ketiga: Siramlah
kebun saat qobla Subuh, jangan ba’da Subuh, untuk menghasilkan panen yang
optimal. Ustad Herry Nurdi tidak membahas panjang lebar mengenai poin ini,
tetapi pikiran saya langsung merujuk kepada anjuran manusia dalam meraih
keberkahan qobla Subuh daripada ba’da Subuh. Qobla Subuh bisa diartikan secara
sederhana tentang ibadah shalat fajar (rawatib Subuh) yang tidak pernah
ditinggalkan Rasulullah. Selain itu, qobla Subuh bisa juga bermakna shalat
qiyamul lail (tahajjud). Tak bisa dipungkiri bahwa tahajjud menisbatkan
kemuliaan bagi penunainya; “…Mudah-mudahan
Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Dan katakanlah: Ya Tuhan-ku,
masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara
keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong (Al Isra’ 79-80).
Demikian
penganalogian sekilas mengenai kitab beraroma awam yang ditulis ulama masa lalu
Indonesia. Hm... dan ternyata bisa diambil hikmahnya dari sisi Islam. Allahu a’lam bish showaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar