Senin, 15 April 2013

Dahan Tumbuh versus Ruh Tumbuh

Sebuah simposium di Cambridge University (Inggris) membahas sebuah cagar ilmu kuno dari tanah Jawi yang tersimpan rapi di sana. Ustad Herry Nurdi, aktivis sekaligus penulis buku konspirasi sempat memaparkan pengalaman mengikuti simposium tersebut di Masjid Baitul Mal, Kampus STAN (12/4/2013). Kata beliau; cagar ilmu tersebut berupa sebuah kitab berhuruf Arab Jawi (Melayu kuno) yang ditulis oleh ulama asal Indonesia. Anehnya, kitab tersebut membahas bukan tentang agama Islam, melainkan panduan memotong dahan tanaman kebun. Hm… Lalu apakah benar buku itu hanya bersifat biologis saja walaupun ditulis oleh ulama nenek moyang kita? Kita akan kupas di sini dalam tiga saran sederhana.

Saran pertama: Potong dahan yang menukik ke arah timur. Saran ini terdengar sederhana dan biasa saja. Walau seolah beraroma klenik, poin pertama ini ternyata punya landasan ilmiah. Jika kita memotong dahan yang mengarah ke timur, itu artinya kita memotong dahan yang pertumbuhannya paling cepat karena efek sinar matahari pagi. Singkat kata, dengan memotong dahan tersebut, sejatinya kita sedang memberikan kesempatan dahan lain untuk tumbuh. 

Sebuah analogi memberi indikasi bahwa tatkala punya ruh (keimanan) yang kuat, kita tidak serta merta memiliki ruh itu seorang diri. Kita punya andil dalam membagi ruh itu kepada orang lain agar sama-sama mendapatkan kebangkitan ruh, yang diibaratkan dengan tercurahnya sinar matahari pagi dari timur. Kita bisa lakukan dengan aksi berbagi ilmu, berbagi hikmah, berbagi inspirasi.

Saran kedua: Jangan potong dahan tanaman ketika ayyamul bidh (3 hari tengah bulan qomariyyah; tanggal 13,14,15). Sekilas kita anggap ini klenik, praktis karena bukunya pun berhuruf Jawi kuno. Namun, usut punya usut, saran ini ternyata sejalan dengan ranah ilmiah. Saat ayyamul bidh, bulan menampilkan sosok purnamanya. Saat itu pula, terjadi pasang naik air laut. Itu tandanya, tanaman sedang asyik-asyiknya memperoleh bekal makanan terbanyak karena air tanah sedang berada pada kondisi optimalnya. Karena itulah, kita tidak dianjurkan memotong dahan saat kondisi alam ini.

Kondisi ini sejalan dengan ruh kita saat ayyamul bidh terjadi. Rasulullah mewasiatkan Abu Dzar Al-Ghifari tiga bentuk ibadah berupa shalat dhuha, shalat witir sebelum tidur, dan puasa 3 hari ayyamul bidh (HR Bukhari dan Muslim). Itulah kenapa, kita dianjurkan berpuasa supaya ruh dalam kondisi asyik memperoleh bekal keimanan, supaya ruh sekuat mungkin pada 3 hari itu. Hm... terlepas dari 3 hari tersebut yang rentan bencana akibat kondisi bumi dipengaruhi purnama. 

Saran ketiga: Siramlah kebun saat qobla Subuh, jangan ba’da Subuh, untuk menghasilkan panen yang optimal. Ustad Herry Nurdi tidak membahas panjang lebar mengenai poin ini, tetapi pikiran saya langsung merujuk kepada anjuran manusia dalam meraih keberkahan qobla Subuh daripada ba’da Subuh. Qobla Subuh bisa diartikan secara sederhana tentang ibadah shalat fajar (rawatib Subuh) yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah. Selain itu, qobla Subuh bisa juga bermakna shalat qiyamul lail (tahajjud). Tak bisa dipungkiri bahwa tahajjud menisbatkan kemuliaan bagi penunainya; “…Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Dan katakanlah: Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (Al Isra’ 79-80).

Demikian penganalogian sekilas mengenai kitab beraroma awam yang ditulis ulama masa lalu Indonesia. Hm... dan ternyata bisa diambil hikmahnya dari sisi Islam. Allahu a’lam bish showaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar