“Whooo, murah meriah nih, pakde,
mbak yu, pak lek, mak cik. Silakan beli beli beli; HP, TV, motor,
laptop, gadget, dll... Semua murah meriah!”, demikian kiranya bunyi iklan di berbagai media.
Ketika pelanggan sudah melihat
harga yang murah, bahkan dengan nominal 999.999, maka seolah pelanggan itu lupa
mata, lupa diri, lupa kantong, lupa prioritas. Tak masalah, mereka pastinya lebih tahu apa yang mereka butuh dan inginkan. Meskipun
begitu, ada satu hal yang belum sering dijadikan pertimbangan mereka dalam
membeli barang. Sebutlah nama sederhananya; biaya rutin.
Untuk
mempermudah pemahaman, biaya rutin ini kalau
dicontohkan pada motor ada pada biaya bensin, hm, entah irit tidaknya...
Lalu, biaya servis, tentang
mahal murahnya. Kalau barangnya
adalah TV, maka biaya rutinnya adalah biaya kistrik. Bagaimana
sedotan listriknya? Berapa watt? Apakah signifikan dengan tarif dasar listrik yang
naik tiap triwulan di tahun 2013 ini? Hheu... T_T
Nah, kalau handphone? Apa saja biaya
rutinnya? Hm, sayangnya handphone tidak memerlukan bensin, daya listriknya
pun tidak
signifikan. Kalaupun servis, hanya jika pemiliknya doyan membanting
HP-nya saja
di setiap tempat. Hm… Jadi, apa biaya rutin dari HP?
Kalau pelanggan adalah para
penghitung kritis, mereka akan melihat biaya-biaya rutin seperti itu. Namun,
jika mereka lebih
mengaitkan hati dan memikirkan prioritas, maka biaya rutin
itu bukan sekedar materi. Melainkan non-materi. Dalam kasus ini, penulis menitiberatkan
pada waktu. Hm...
Coba dicek... Apakah dengan
membeli TV, kita akan kehilangan waktu signifikan yang seharusnya dapat kita
alokasikan untuk hal lain yang lebih prioritas? Jika iya, maka biaya rutin
untuk beli TV kita anggap besar. Namun, biaya ini akan lebih kecil jika si calon
empunya TV mampu mengendalikan keberfungsian TV. Misalnya dengan mengatur jam menonton TV.
Coba kita cek ke HP yang kian
murah, kian praktis, kian banyak gamesnya, kian mendekatkan hati, bahkan kian
merapatkan barisan silaturrahim. Kita akan mendapatkan biaya rutin HP terwujud
dalam pengalihan waktu yang seharusnya potensial bermanfaat, tetapi justru diganti
dengan asyik bermain HP. Atau dengan kata lain, berkurangnya waktu potensial
dikarenakan sibuk ber-HP ria.
Sebuah
anjuran ekstrim mengatakan bahwa; jangan
sampai jika kita membeli sebuah barang, seolah-olah barang itulah yang
sejatinya membeli diri kita. Saking tidak mampunya kita membagi waktu, membagi
prioritas pekerjaan, yang cenderung terlalu memfokuskan waktu pada barang itu.
Hm… pada akhirnya, biaya rutin waktu ini
identik dengan unsur kehidupan bertajuk ‘keberkahan’. So, Apa itu berkah? Berkah
adalah tanda rahmat Allah kepada hamba-Nya yang selalu mendekat kepada-Nya. Secara
visual, berkah tampak dengan bertambahnya kebaikan, yang indikatornya bukan
dari sisi materi melainkan non materi, boleh jadi intelektual, emosional,
bahkan spiritual.
Nah,
sekarang apakah dengan beli HP, justru membuat jadwal kita
teratur, beli TV membuat wawasan kita meninggi? Beli ini itu, membuat
kemanfaatannya jauh lebih besar daripada kerugiannya? (sekali lagi sudut pandang
kita bukan materi, tetapi non-materi).
Lalu,
seberapa berkah-kah barang yang kita beli? Apakah membuat kita mampu
memanfaatkannya dengan bijak, mendekatkan diri kita kepada-Nya, atau justru
makin menjerumuskan kita jauh dari-Nya? Allahu a’lam. Berkah inilah yang penulis anggap sebagai lawan kata
dari biaya rutin.
Semoga kita tidak terjebak dari kelihaian iklan-iklan dengan produknya yang
melalaikan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar