Kalimat ini pertama kali kuucap setelah enam
bulan lebih hidup bersama istriku. Istri yang tiada duanya. Istri yang tak ada
duplikasinya. Istri yang ketika memandang wajahnya, hilir mudik darah ini
semerbak. Bahkan sampai tak kusadari tai kucing tergeletak membau di samping
kakiku.
Lalu, mengapa harus kutangisi istriku?
Bukan dia yang sedang kutangisi. Namun, diri
ini yang papa. Yang rendah di hadapan Allah azza wa jalla. Semenjang 6 bulan
lalu, hitungan menunjukkan bahwa lambung ini tak lagi mengonsumsi obat kimia
semacam amoxilin. Semua berjalan begitu luar biasa. Setiap kali istri sakit,
yang ada hanya obat herbal sejenis habatus sauda pembangkit antibodi. Setiap
kali diriku sakit, madu dikombinasi pandangan ke arah istri saja, sudah cukup
membuat penyakit kejang-kejang dihantam antibodi yang luar biasa kuatnya.
Pernah suatu ketika diri ini mual didera meriang di kala siang. Begitu pulang
tatkala malam, memandang istri saja, aura positif sudah datang mengusir radang.
Lambung serasa dingin, esok paginya, keringat membujur pertanda kesembuhan dari
Allah untuk hamba-Nya.
Entah fenomena apa itu. Apakah istriku atau
akunya yang sudah mumpuni dalam menghipnotis diri? Yang jelas, Allah Maha
Mengobati dengan segala Kehendak yang berbalutkan kenikmatan dari segala
penjuru, yang mana 99% penjuru itu adalah istriku.
Enam bulan lebih sedikit, waktu itu tiba.
Sepekan kami tak bersua, diri ini masih terjaga. Sepekan berikutnya, antibodi
terasa menurun. Apalagi menjelang pekan ketiga, ketika istriku untuk kedua
kalinya harus ber-say goodbye kuantar menjauh dari tubuh yang papa ini...
“Dia harus prajab, kawan”, begitu tolehan schizee
*teman imajinasiku
Kepala sakit menghentak. Hunjaman paku
kutahan begitu menyentak. Aku berselimutkan kesunyian mengganggu panitia
prajab. Kulihat obat tergeletak. Namun, nyali selalu saja ciut. “Hey, bung.
Bukankah istrimu ga suka sama obat kimia? Masa’ suaminya doyan?”, begitu usul
schizee.
12 jam kutahan sakit kepala dan meriang ini,
bermodalkan 2 kapsul minyak habatus sauda pemberian istri. Namun, tak ada
hasil. Herbal yang satu itu kurang manjur kalau tubuh sudah kadung didera
kuman. Maka, demi menjaga diri dari kesakitan yang terlampau tajam kupanggil
dirinya.
Kala itu, aku memang masih meronta di markas
panitia prajab. Aku pun janjian bertemu di masjid prajab. Istriku waktu itu
batuk, kubelikan obat herbal. Sementara diriku, walau sudah berkali-kali sakit
dan selalu sembuh dengan sendirinya, maka dikarenakan lemahnya diri ini,
angkuhnya jiwa ini, maka kupandang lekat-lekat dirinya di masjid. Kubiarkan
mata ini mengucurkan air mata. “Ssstttt...” Tuturnya. “Ndak boleh nangiiis!”,
Masih dengan gaya manja yang ia bawa. Aku tersenyum tenteram. Kujawab, “Maaf,
thayank. Aku akhirnya minum panadol. Maafkan! Hheu...”
Ia balas menorehkan senyum sembari menjawab,
“Gak papa kok thayank. Yang penting kan mas sembuuh.” Aku paksa ia seka lelehan
di pipiku. Kubiarkan orang-orang memandang kami berdua yang seolah pacaran.
Walaupun memang iya. Kami memang pacaran, setelah sah dalam pernikahan.
-ditulis saat
diri ini didera sakit meriang-merindukan kasih sayang -1/4/2013-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar