Jumat, 19 April 2013

Aku Menangis Memandang Wajahmu

Kalimat ini pertama kali kuucap setelah enam bulan lebih hidup bersama istriku. Istri yang tiada duanya. Istri yang tak ada duplikasinya. Istri yang ketika memandang wajahnya, hilir mudik darah ini semerbak. Bahkan sampai tak kusadari tai kucing tergeletak membau di samping kakiku.
 
Lalu, mengapa harus kutangisi istriku?

Bukan dia yang sedang kutangisi. Namun, diri ini yang papa. Yang rendah di hadapan Allah azza wa jalla. Semenjang 6 bulan lalu, hitungan menunjukkan bahwa lambung ini tak lagi mengonsumsi obat kimia semacam amoxilin. Semua berjalan begitu luar biasa. Setiap kali istri sakit, yang ada hanya obat herbal sejenis habatus sauda pembangkit antibodi. Setiap kali diriku sakit, madu dikombinasi pandangan ke arah istri saja, sudah cukup membuat penyakit kejang-kejang dihantam antibodi yang luar biasa kuatnya. Pernah suatu ketika diri ini mual didera meriang di kala siang. Begitu pulang tatkala malam, memandang istri saja, aura positif sudah datang mengusir radang. Lambung serasa dingin, esok paginya, keringat membujur pertanda kesembuhan dari Allah untuk hamba-Nya. 

Entah fenomena apa itu. Apakah istriku atau akunya yang sudah mumpuni dalam menghipnotis diri? Yang jelas, Allah Maha Mengobati dengan segala Kehendak yang berbalutkan kenikmatan dari segala penjuru, yang mana 99% penjuru itu adalah istriku.

Enam bulan lebih sedikit, waktu itu tiba. Sepekan kami tak bersua, diri ini masih terjaga. Sepekan berikutnya, antibodi terasa menurun. Apalagi menjelang pekan ketiga, ketika istriku untuk kedua kalinya harus ber-say goodbye kuantar menjauh dari tubuh yang papa ini...

“Dia harus prajab, kawan”, begitu tolehan schizee *teman imajinasiku

Kepala sakit menghentak. Hunjaman paku kutahan begitu menyentak. Aku berselimutkan kesunyian mengganggu panitia prajab. Kulihat obat tergeletak. Namun, nyali selalu saja ciut. “Hey, bung. Bukankah istrimu ga suka sama obat kimia? Masa’ suaminya doyan?”, begitu usul schizee.

12 jam kutahan sakit kepala dan meriang ini, bermodalkan 2 kapsul minyak habatus sauda pemberian istri. Namun, tak ada hasil. Herbal yang satu itu kurang manjur kalau tubuh sudah kadung didera kuman. Maka, demi menjaga diri dari kesakitan yang terlampau tajam kupanggil dirinya. 

Kala itu, aku memang masih meronta di markas panitia prajab. Aku pun janjian bertemu di masjid prajab. Istriku waktu itu batuk, kubelikan obat herbal. Sementara diriku, walau sudah berkali-kali sakit dan selalu sembuh dengan sendirinya, maka dikarenakan lemahnya diri ini, angkuhnya jiwa ini, maka kupandang lekat-lekat dirinya di masjid. Kubiarkan mata ini mengucurkan air mata. “Ssstttt...” Tuturnya. “Ndak boleh nangiiis!”, Masih dengan gaya manja yang ia bawa. Aku tersenyum tenteram. Kujawab, “Maaf, thayank. Aku akhirnya minum panadol. Maafkan! Hheu...”

Ia balas menorehkan senyum sembari menjawab, “Gak papa kok thayank. Yang penting kan mas sembuuh.” Aku paksa ia seka lelehan di pipiku. Kubiarkan orang-orang memandang kami berdua yang seolah pacaran. Walaupun memang iya. Kami memang pacaran, setelah sah dalam pernikahan.

Kini, tak ada ragu bahwa tetap kurasakan romantisme ini tak berkurang sedikitpun. Bahkan, 2 pekan menjauh darinya, makin membikin kerinduan bagiku untuk bermurojaah bersama, membagi hikmah dari kajian yang masing-masing kami ikuti, bahkan kitab yang kami baca bersama. “Uhibbuki Fillah, yaa zaujati!”                              

 -ditulis saat diri ini didera sakit meriang-merindukan kasih sayang -1/4/2013-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar