Dalam ranah kehidupan, sebagian besar orang menggunakan
logika bumi, sementara sebagian kecil logika langit. Pernyataan ini murni dari
penulis yang melihat sekilas kerancuannya. Sebutlah mereka yang mematerikan
segala yang didapat dengan berbagai cara apapun , merekalah para penganut
logika bumi. Sedangkan, mereka yang begitu paham dengan campur tangan,
kemurkaan, kekuasaan, bahkan keridhoan Allah, mereka itulah para penganut logika
langit. Dan boleh jadi, kedua logika itu bisa dipadukan menghasilkan sosok yang
jago untuk urusan akhirat, plus jago pula urusan dunianya. Pertanyaan pertama
terjawab, kedua karakter ternyata bisa dikolaborasikan.
Nah, apakah logika langit sesimpel itu? Ternyata ada
logika-logika yang sudah terbaurkan oleh kemajuan zaman, sehingga terkadang
manusia… hm, entah lupa atau pura-pura tidak tahu, kurang memahami logika itu.
Langsung saja bicara teknis; “Jika banyak murid di suatu kelas tidak lulus,
logika bumi akan mengindikasikan ada yang salah dengan pengajaran sang guru.
Namun, logika langit akan bertanya; apakah gurunya dekat dengan Allah? Apakah
sang guru mendoakan murid-muridnya supaya lulus?”
Model logika langit ini senada dengan; “Jika rakyat di satu
negara sulit diatur, maka perlulah presiden berintrospeksi diri; apakah ia
sudah cukup meminta pertolongan Allah dalam menjalankan negaranya?”
Kalau mengerucut ke urusan cinta dan keluarga, begini logika
langitnya; “Jika ketaatan istri menurun, maka jangan salahkan istri. Salahkan
suami yang kurang membina
ketaatan dirinya sekaligus si istri.”
Kalau bicara hal yang lebih mikro dan keindividualan, model
ini paling sering dipakai; “Jika impian kita belum juga kesampaian, apakah kita
sudah berintrospeksi dengan mendekatkan diri kepada Allah?”
Logika langit ekstrim pernah penulis peroleh dari seorang
santri Rumah Quran. Begini bunyinya; “Orang-orang munafiq itu perawakannya
besar, kuat, dan gagah. Namun hatinya tidak mau diajak berperang di jalan
Allah. Kenapa? Apakah karena mereka tidak beriman? Bukan. Mereka beriman kepada
Allah bahkan ikut shalat jamaah. Lalu kenapa? Apakah karena hati mereka sudah
terkotori dunia sehingga sulit tergerak? Mungkin ada benarnya. Namun, jawaban
paling benar tertuang dalam Quran. Ada campur tangan Allah yang membuat mereka
enggan ikut berperang.”
Dan jika mereka mau
berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi
Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan
mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang
yang tinggal itu" (At Taubah: 46)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar