Dalam
sebuah adegan film The Mummy 2, Imhotep (tokoh musuh) dan O’Conell (tokoh
utama) nyaris jatuh ke dalam neraka yang muncul dari rekahan bumi. Keduanya
minta tolong kepada pasangan masing-masing. O’Conell berteriak minta tolong
kepada Evelyn, istrinya. Imhotep pun minta tolong kepada Anck Su Namun, tokoh
wanita pendamping musuh. Di saat yang sama, bebatuan dari atap jatuh bergantian
pertanda bangunan mau rubuh. Praktis, kedua wanita harus berjuang ekstra jika
mau menolong pasangan masing-masing. Adegan itu diakhiri dengan Evelyn yang heroik
berlari melewati stalagtit-stalagtit yang jatuh dari atas, sementara Anck Su
Namun justru berlari keluar, bertekad menyelamatkan dirinya sendiri. Ouch… Imhotep
pun jatuh ke jurang neraka. Sementara O’Conell berhasil diselamatkan Evelyn dengan
membantunya bangkit dari rekahan bumi.
Demikian
sebuah gambaran dari musibah ekstrim yang diarungi dua sejoli sah nikah. Sutradara
film ingin memberikan penekanan bahwa musibah harus selalu diarungi berdua.
Tentunya untuk membuktikan bahwa cinta kedua pasangan adalah sejati.
Di
sisi lain, musibah sering dilogikakan langit. Mereka yang melogikalangitkan musibah
adalah yang percaya bahwa ada hikmah terserak di balik itu, sebagaimana ada
udang di balik rempeyek. Salah satu imbas ‘sakit’ akibat musibah adalah
tergugurnya dosa-dosa, sebagaimana hadits tentang tertusuk duri yang menggugurkan
dosa. Lha, apalagi kalau sakitnya lebih daripada tertusuk duri?
Jadi,
pemikiran ini lebih mampu mengekalkan cinta daripada sekedar romantika penyelamatan
Evelyn terhadap O’Conell. Kenapa? Tentunya karena ada visi yang lebih visioner
daripada sekedar hidup di dunia. Pada intinya, mereka yakin ada kekuatan langit
yang sedang menggiring mereka untuk mengekalkan cinta tidak hanya di dunia,
tetapi juga di akhirat. Oh, romantisnya…
Penulis
lebih suka menyebut tema perjuangan mengusung cinta ini dengan istilah romantika
musibah. Ia adalah musibah yang menguji cinta, mengekalkan cinta, memvisikan
cinta untuk selalu bersama karena tenggelam dalam cinta kepada Allah, Sang
Penguasa langit dan bumi.
Dalam
ranah romantika musibah, seorang pasangan tak hanya berpola pikir duniawi.
Yakni menjauhi pasangannya, supaya tidak tertular. Romantika musibah dapat dicontohkan
dengan keloyalan menemani kesusahan pasangannya walau apapun resikonya. Seperti
seorang suami yang sakit menular, kemudian tanpa pikir panjang si istri
memotivasi sekaligus mengobati sakit suaminya. Akibatnya, si istri ikut
tertular, dan dengan niat kesabaran (sabar yang diniatkan karena Allah pula),
maka tergugurkanlah dosa keduanya, InsyaAllah.
Romantika
musibah versi semi ekstrim dicontohkan dengan seorang suami yang menderita
sebuah penyakit, sementara sang istri juga menderita penyakit lain. Karena tak
peduli akan pengaruh tularan penyakit, keduanya asyik saja saling menemani dan
mengobati, mendukung dan menguatkan, tanpa sadar keduanya tertular. Si istri
ketularan penyakit suami, sang suami pun ketularan penyakitnya istri. Walau
penyakit mencabik-cabik diri mereka, mereka yakin dosa mereka tercabik-cabik
pula.
Adapun
contoh romantika musibah terekstrim ditunjukkan dengan sang suami dengan amanah
dakwah yang sangat menyibukkan, sementara si istri terlanjur sakit fisik. Namun
demi suami dan amanah cintnya kepada Allah, si istri sampai hati mengasingkan
diri supaya tak disentuh dan tak diobati suami. “Biarlah diri ini disengat
sakit, asal suami sukses amanah cintanya”, tutur istri. Mereka lakukan itu
karena ada yang lebih visioner daripada penhapusan dosa; yakni ‘keridhoan
Allah.’