Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 April 2013

Romantika Musibah


Dalam sebuah adegan film The Mummy 2, Imhotep (tokoh musuh) dan O’Conell (tokoh utama) nyaris jatuh ke dalam neraka yang muncul dari rekahan bumi. Keduanya minta tolong kepada pasangan masing-masing. O’Conell berteriak minta tolong kepada Evelyn, istrinya. Imhotep pun minta tolong kepada Anck Su Namun, tokoh wanita pendamping musuh. Di saat yang sama, bebatuan dari atap jatuh bergantian pertanda bangunan mau rubuh. Praktis, kedua wanita harus berjuang ekstra jika mau menolong pasangan masing-masing. Adegan itu diakhiri dengan Evelyn yang heroik berlari melewati stalagtit-stalagtit yang jatuh dari atas, sementara Anck Su Namun justru berlari keluar, bertekad menyelamatkan dirinya sendiri. Ouch… Imhotep pun jatuh ke jurang neraka. Sementara O’Conell berhasil diselamatkan Evelyn dengan membantunya bangkit dari rekahan bumi.

Demikian sebuah gambaran dari musibah ekstrim yang diarungi dua sejoli sah nikah. Sutradara film ingin memberikan penekanan bahwa musibah harus selalu diarungi berdua. Tentunya untuk membuktikan bahwa cinta kedua pasangan adalah sejati.

Di sisi lain, musibah sering dilogikakan langit. Mereka yang melogikalangitkan musibah adalah yang percaya bahwa ada hikmah terserak di balik itu, sebagaimana ada udang di balik rempeyek. Salah satu imbas ‘sakit’ akibat musibah adalah tergugurnya dosa-dosa, sebagaimana hadits tentang tertusuk duri yang menggugurkan dosa. Lha, apalagi kalau sakitnya lebih daripada tertusuk duri?

Jadi, pemikiran ini lebih mampu mengekalkan cinta daripada sekedar romantika penyelamatan Evelyn terhadap O’Conell. Kenapa? Tentunya karena ada visi yang lebih visioner daripada sekedar hidup di dunia. Pada intinya, mereka yakin ada kekuatan langit yang sedang menggiring mereka untuk mengekalkan cinta tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Oh, romantisnya…

Penulis lebih suka menyebut tema perjuangan mengusung cinta ini dengan istilah romantika musibah. Ia adalah musibah yang menguji cinta, mengekalkan cinta, memvisikan cinta untuk selalu bersama karena tenggelam dalam cinta kepada Allah, Sang Penguasa langit dan bumi.

Dalam ranah romantika musibah, seorang pasangan tak hanya berpola pikir duniawi. Yakni menjauhi pasangannya, supaya tidak tertular. Romantika musibah dapat dicontohkan dengan keloyalan menemani kesusahan pasangannya walau apapun resikonya. Seperti seorang suami yang sakit menular, kemudian tanpa pikir panjang si istri memotivasi sekaligus mengobati sakit suaminya. Akibatnya, si istri ikut tertular, dan dengan niat kesabaran (sabar yang diniatkan karena Allah pula), maka tergugurkanlah dosa keduanya, InsyaAllah.

Romantika musibah versi semi ekstrim dicontohkan dengan seorang suami yang menderita sebuah penyakit, sementara sang istri juga menderita penyakit lain. Karena tak peduli akan pengaruh tularan penyakit, keduanya asyik saja saling menemani dan mengobati, mendukung dan menguatkan, tanpa sadar keduanya tertular. Si istri ketularan penyakit suami, sang suami pun ketularan penyakitnya istri. Walau penyakit mencabik-cabik diri mereka, mereka yakin dosa mereka tercabik-cabik pula.

Adapun contoh romantika musibah terekstrim ditunjukkan dengan sang suami dengan amanah dakwah yang sangat menyibukkan, sementara si istri terlanjur sakit fisik. Namun demi suami dan amanah cintnya kepada Allah, si istri sampai hati mengasingkan diri supaya tak disentuh dan tak diobati suami. “Biarlah diri ini disengat sakit, asal suami sukses amanah cintanya”, tutur istri. Mereka lakukan itu karena ada yang lebih visioner daripada penhapusan dosa; yakni ‘keridhoan Allah.’

Selasa, 23 April 2013

Patuhnya Istri atau Kemudahan Suami?


Kali ini, sakit membungkam diriku lagi. Namun, jika ini yang baik dari Allah, kenapa tidak. Teringat pesan schizee untuk merelakan segala yang datang di luar kehendak kita, “Teruskan ya Allah, kumohon teruskan. Jika kiranya ini yang terbaik, maka teruskan ya Allah!” Maka, tidak ada cara pengguguran dosa yang lebih menentramkan daripada sakit. Toh, sudah pasti sakit itu lebih sakit daripada sekedar ketusuk duri, sementara alhadits mengatakan bahwa ketusuk duri saja sudah menggugurkan dosa. Namun, di luar itu tentu saja kita harus paham sunnatullah-nya, “Hm… siapa tahu karena kurang menjaga kesehatan dan lalai dari sakit sebelumnya –tidak menghabiskan antibiotik-. Nah, lho…

Sakit selalu menerbitkan inspirasi, apalagi jika sudah berbicara ranah cinta ‘suami-istri’ fillah. Semua dimulai dari menggigil seharian akibat dicekoki AC kantor yang dingin menusuk tulang. Alhasil radang tenggorokan pun berimbas meriang. Sorenya, tatkala meriang sudah mengepung tubuh, dua fenomena pun muncul. 1) Schizee lebih kental memprovokasi diri, 2) sensitivitas meningkat pesat melipat hati. Akibatnya, ketika aku hendak menjemput istri dari bekerja, maka dua fenomena itu pun membekap diri.

Schizee mulai menjalankan aksinya, membisikan kalimat kontroversi ke dalam relung hatiku, “Hey, boz. Sadarkah engkau, kau baru saja sms istrimu untuk menunggu di tempat biasa. Padahal ada tempat lain yang lebih memudahkanmu menjemputnya. Sekarang, aku tantang kau. Jika ketika kau jemput, kemudian kau dapati istrimu menunggu di tempat biasa sebagaimana perintahmu melalui sms, maka aku bisa pastikan bahwa istrimu itu tipe setia dan patuh pada suami. Namun, jika ketika kau jemput, ternyata istrimu justru menunggu di tempat lain yang memudahkanmu untuk menjemputnya, maka aku pastikan bahwa istrimu tidak patuh kepadamu, walau itu lebih memudahkanmu. Tantanganku adalah; beranikah kau beri penilaian patuh tidaknya istrimu melalui kasus ini? Hahaha!”

Schizee langsung kabur begitu saja. Aku tak lantas mengangguki tantangan schizee. Usai dibekap macet beberapa saat, motor ini pun melaju lancar melewati perempatan Bintaro Plaza, dengan lampu lalu lintas yang rusak tak diperhatikan pihak berwenang. Usai melewati rintangan itu, aku melihat ke sisi tempat yang lebih memudahkanku menjemput istriku. Tak ada istriku disana. Lalu, aku coba sambangi tempat biasa. Tak ada juga? Apakah istriku tipe tidak patuh? Atau jangan-jangan ia malah naik angkot karena lama menunggu? Aku tangkis prasangka yang diprovokasi langsung oleh setan (bukan schizee). Aku tunggu di tempat biasa, aku lihat sekeliling, lantas pandangan ini tertuju ke satu titik. Istriku… Ia menunggu sambil duduk, dengan mushaf membuka rapi dibacanya. Aku tak menyangka, istriku duduk di tempat biasa aku menjemputnya. Apakah ini artinya…. Ini artinya istriku tipe patuh pada suami?

Ada 2 pilihan yang barusan ditawarkan schizee; istri yang menghendaki dan meridhai pilihan suami walau pilihan itu menyusahkan suami. Atau istri yang lebih menghendaki kemudahan suami walau pilihan itu tidak dikehendaki suami. Dan benarlah apa yang dikatakan schizee; istri tipe pertama adalah istriku, yang patuh pada suami walau hal itu menyusahkan suami. Semoga istri kita termasuk yang ini.

Klimaksnya adalah; fenomena imbas meriang yang kedua. Aku sensi; menangis sambil memboncengkan istri. Ia yang duduk di belakang bisa merasakan sesenggukanku, memelukku dari belakang, ketetesan air mata yang jatuh. Aku tak peduli orang-orang melihatku cengeng di atas motor. Yang aku bahagia dan aku syukuri adalah istriku adalah istri sebagaimana dikategorikan schizee. Barakallah untuk istriku!

Sabtu, 20 April 2013

Visi Misi dan Gelut Organisasi Manusia

Ketika seorang bayi lahir, maka ia tak tahu apa itu visi misi. Bayi itu baru tahu apa itu visi misi begitu menginjak usia yang tepat untuk berorganisasi. Akhirnya, bayi itu menapak sebuah organisasi dengan visi dan misi tertentu. Hm... Bukan lagi kita sebut bayi tentunya, melainkan sosok organisatoris. Cikal bakal sematan aktivis.

Kungkungan sematan aktivis ini menggelora terus selama mereka menganggap dirinya aktif berorganisasi. Tatkala masa remaja terlewat, mereka menapaki dunia orang dewasa. Karier mereka beralih dari aktivis kampus menjadi aktivis partai (misalnya), atau mungkin aktivis masyarakat. Sedikit dari mereka yang menukik menjadi apatis tulen. Yang terakhir, tidak dibahas di sini.

Lanjut lagi, masa dewasa itu pun kian mengerut menjadi masa tua. Hasilnya mereka pensiun dari masa organisasi mereka. Dan sayang seribu sayang, demikian mereka memaknai organisasi dengan terlalu sempit, menganggap bahwa organisasi itu identik dengan jamaah bejibun dengan ketua yang menjadi figur luar biasa di tengah-tengah mereka, oh... hingga mereka lupa menyadari makna organisasi dari sudut pandang lain yang bersifat dunia-akhirat.

Kalau boleh berteriak, saya akan katakan, “Whooooiii, kau anggap apa istri dan anak-anakmuuu?”

Begitulah, mereka lupa kalau mereka harus mengorganisasi sebuah organisasi yang hulunya ada di perhelatan akad nikah, dan hilirnya di surga kelak. Lain dari organisasi duniawi, yang hulunya di masa kita terpilih menjadi salah satu punggawanya dan hilirnya di masa pensiun kita dari organisasi itu.

Bahkan, Allah gariskan perihal organisasi ini di kalam-Nya; Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS 66:6)

Wow, terlihat keren jika digubah menjadi sebuah visi bukan? Contoh visi organisasi ini: “Terpelihara diri dan anggota organisasi ini dari api neraka.”... Cieee...

Kalau organisasi yang mereka punggawai memiliki visi misi yang membuat orang-orang terkagum-kagum. Membuat orang lain ingin menjadi bagian dari kesuksesan organisasi itu, hm... akankah kita bisa memunggawai organisasi kita sendiri? Entah kita di pihak suami atau di pihak istri, rasa-rasanya keduanya sama-sama harus berkontribusi penuh.

Menukil ustad Masturi dalam salah satu kajiannya, “Itulah perlunya, kita rapat antar-sesama anggota keluarga. Merumuskan visi keluarga, misi keluarga, dan detail-detail lain dalam urusan keluarga. Termasuk memecahkan permasalahan yang juga diperlukan melalui prosedur rapat.

Akan bersifat elegan bila sang ayah membuka rapat dengan basmalah, lantas si bayi mungil mengangkat tangan menyampaikan usul yang membuat sang ibu gelagapan. “Umi, mau pipis umi!”

Lebih dari itu, bagi yang belum punya visi misi dunia-akhirat keluarga barakah, maka perencanaan lebih dini adalah pilihan terbaik. Toh, jika telah sah nanti, bisa dikonsolidasikan bersama pasangan. Hehe. Atau jika sudah menapaki organisasi keluarga bertahun-tahun lamanya, tak ada salahnya sedari sekarang memikirkan, “Mau dibawa kemana! Hubungan kita, ups salah; ‘keluarga kitaa!”


Salam keluarga barakah…(aamiin)

Jumat, 19 April 2013

Aku Menangis Memandang Wajahmu

Kalimat ini pertama kali kuucap setelah enam bulan lebih hidup bersama istriku. Istri yang tiada duanya. Istri yang tak ada duplikasinya. Istri yang ketika memandang wajahnya, hilir mudik darah ini semerbak. Bahkan sampai tak kusadari tai kucing tergeletak membau di samping kakiku.
 
Lalu, mengapa harus kutangisi istriku?

Bukan dia yang sedang kutangisi. Namun, diri ini yang papa. Yang rendah di hadapan Allah azza wa jalla. Semenjang 6 bulan lalu, hitungan menunjukkan bahwa lambung ini tak lagi mengonsumsi obat kimia semacam amoxilin. Semua berjalan begitu luar biasa. Setiap kali istri sakit, yang ada hanya obat herbal sejenis habatus sauda pembangkit antibodi. Setiap kali diriku sakit, madu dikombinasi pandangan ke arah istri saja, sudah cukup membuat penyakit kejang-kejang dihantam antibodi yang luar biasa kuatnya. Pernah suatu ketika diri ini mual didera meriang di kala siang. Begitu pulang tatkala malam, memandang istri saja, aura positif sudah datang mengusir radang. Lambung serasa dingin, esok paginya, keringat membujur pertanda kesembuhan dari Allah untuk hamba-Nya. 

Entah fenomena apa itu. Apakah istriku atau akunya yang sudah mumpuni dalam menghipnotis diri? Yang jelas, Allah Maha Mengobati dengan segala Kehendak yang berbalutkan kenikmatan dari segala penjuru, yang mana 99% penjuru itu adalah istriku.

Enam bulan lebih sedikit, waktu itu tiba. Sepekan kami tak bersua, diri ini masih terjaga. Sepekan berikutnya, antibodi terasa menurun. Apalagi menjelang pekan ketiga, ketika istriku untuk kedua kalinya harus ber-say goodbye kuantar menjauh dari tubuh yang papa ini...

“Dia harus prajab, kawan”, begitu tolehan schizee *teman imajinasiku

Kepala sakit menghentak. Hunjaman paku kutahan begitu menyentak. Aku berselimutkan kesunyian mengganggu panitia prajab. Kulihat obat tergeletak. Namun, nyali selalu saja ciut. “Hey, bung. Bukankah istrimu ga suka sama obat kimia? Masa’ suaminya doyan?”, begitu usul schizee.

12 jam kutahan sakit kepala dan meriang ini, bermodalkan 2 kapsul minyak habatus sauda pemberian istri. Namun, tak ada hasil. Herbal yang satu itu kurang manjur kalau tubuh sudah kadung didera kuman. Maka, demi menjaga diri dari kesakitan yang terlampau tajam kupanggil dirinya. 

Kala itu, aku memang masih meronta di markas panitia prajab. Aku pun janjian bertemu di masjid prajab. Istriku waktu itu batuk, kubelikan obat herbal. Sementara diriku, walau sudah berkali-kali sakit dan selalu sembuh dengan sendirinya, maka dikarenakan lemahnya diri ini, angkuhnya jiwa ini, maka kupandang lekat-lekat dirinya di masjid. Kubiarkan mata ini mengucurkan air mata. “Ssstttt...” Tuturnya. “Ndak boleh nangiiis!”, Masih dengan gaya manja yang ia bawa. Aku tersenyum tenteram. Kujawab, “Maaf, thayank. Aku akhirnya minum panadol. Maafkan! Hheu...”

Ia balas menorehkan senyum sembari menjawab, “Gak papa kok thayank. Yang penting kan mas sembuuh.” Aku paksa ia seka lelehan di pipiku. Kubiarkan orang-orang memandang kami berdua yang seolah pacaran. Walaupun memang iya. Kami memang pacaran, setelah sah dalam pernikahan.

Kini, tak ada ragu bahwa tetap kurasakan romantisme ini tak berkurang sedikitpun. Bahkan, 2 pekan menjauh darinya, makin membikin kerinduan bagiku untuk bermurojaah bersama, membagi hikmah dari kajian yang masing-masing kami ikuti, bahkan kitab yang kami baca bersama. “Uhibbuki Fillah, yaa zaujati!”                              

 -ditulis saat diri ini didera sakit meriang-merindukan kasih sayang -1/4/2013-