Jumat, 31 Mei 2013

Kapak yang Kehilangan Kekuatannya (2)

Patut kita pahami, bahwa sholat Jumat bukan cuma konsumsi pribadi seorang suami/ayah akan khutbah/wasiat takwa, melainkan kegiatan produktif, dimana seorang suami dari istrinya, atau ayah dari anak perempuannya, dianjurkan mentransfer pula, bekal iman itu kepada istri dan anak perempuannya. Subhanallah, betapa cukupnya rezeki yang Allah rencanakan dalam sepekan itu. Makan untuk fisik manusia, liburan untuk fisik manusia, dan ketaatan untuk keimanan manusia.

Masih belum selesai. Manusia sendiri memilihkan satu bulan, dengan mengkhususkan tanggal 1 untuk kesenangan mereka, tentunya di waktu tibanya gaji bulanan (notabene: tanggal muda), sebagai wujud terasahnya kesenangan manusia. Lalu, di mana Allah tentukan kesenangan atas keimanan manusia? Ternyata, hal itu Allah syariatkan melalui hadits Nabi, dari Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah Saw memberi wasiat 3 hal yang tak pernah ditinggalkannya. Selain sholat Dhuha dan sholat Witr, ada puasa 3 hari di tengah bulan Hijriyyah (penandanya adalah hadirnya bulan purnama). Di situlah, Allah perkenankan bagi seorang hamba untuk meningkatkan ketaatan, dengan kata lain terasahnya iman bulanan seorang hamba.

Lebih jauh dari sekedar harian, mingguan, bahkan bulanan, kita mengenal arti makna tahunan, yakni berupa perayaan tahun baru, sebagai sarana suka cita, pesta kesenangan manusia, model kaleidoskop atau merefleksi raihan kebahagiaan yang diharapkan lebih baik di tahun depan daripada tahun lalu. Itu logika duniawinya. Lalu, bagaimana jika tinjauan konsumsi ruh atau keimanan dalam ranah tahunan?

Bukan rahasia lagi. Allah begitu sayang kepada hamba-Nya, tak hanya menghadirkan sholat 5 waktu (harian), sholat Jumat (mingguan), bahkan puasa 3 hari di tengah bulan (bulanan), Allah syariatkan dalam tempo tahunan, kewajiban merayakan Ramadhan, sebagai proklamasi peningkatan keimanan secara komprehensif dan cenderung menyeluruh. Bagaimana tidak? Setan diusir, neraka ditutup, surga dibuka, manusia tiba-tiba saja berbondong-bondong ke masjid. Tiba-tiba pula Allah liputi itu semua dengan keberkahan dari segala penjuru, bonus pahala berlipat ganda, ampunan yang turun sporadis. Hingga Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh merugi orang yang tak mendapatkan ampunan di bulan mulia itu.” 

Jika setiap hari raya nasional, pemerintah perlu siapkan program dengan matang. Jika perayaan ultah saudara spesial perlu dipersiapkan demi kesenangan dirinya. Jika Allah berpesan bahwa secerdas-cerdas manusia adalah yang mempersiapkan kematiannya (hari paling istimewa dalam hidup manusia). Maka, perlu-lah kita mengukir kecintaan Allah, dengan mempersiapkan program BULAN RAMADHAN untuk diri kita pribadi. Seperti apa nanti sholat wajib dan sunnah kita, seperti apa sholat malam kita, shoum kita, iktikaf kita, dakwah kita di bulan itu, seperti apa; semua amalan iman yang mampu merengkuhkan keridhaan Allah kepada kita, hingga pada akhirnya kita mampu berlepas diri dari kuman-kuman kotor beralih menjadi bersih dalam balutan takwa. Lalu, kita nyatakan kepada Allah, “Ya Allah, kapak-ku telah terasah kembali, maka aku siap menjalani kehidupan duniawi dengan berbagai ujian dan cobaan-Mu, ATAU  aku telah siap menghadap-Mu setelah cukup takwa kuraih dalam tiap momentum kehidupan ini.” Itu artinya; kapak kita memang sudah siap dipekerjakan kembali, iman kita sudah menguat kembali.  

Demikian itu, sekedar refleksi betapa Allah sayang kepada kita, melalui priode harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan, Allah rezekikan kenikmatan fisik dan mental. Pada periode itu pula, Allah rezekikan kenikmatan iman dan takwa. Semoga kita dapat meraihnya, terutama untuk Ramadhan yang sedang menunggu kita. Allahumma baariklanaa fii rajabaa, wa sya’baan, wa ballighnaa Ramadhaan. Aamiin :D

Kapak yang Kehilangan Kekuatannya (1)

(ditulis untuk buletin An-Nahl Masjid An-Nur PJMI - edisi Rajab 3-2013)

Alkisah, seorang juragan kayu menggaji seorang pemuda untuk menebang pohon di hutan. Dengan gaji yang besar, sang pemuda pun bertekad bekerja semaksimal mungkin.

Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu tertentu. Hari pertama bekerja, luar biasa. Si pemuda berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, sang majikan pun terkesan sambil bertutur, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya kagum dengan kemampuanmu. Belum pernah ada yang sepertimu. Teruskan bekerja seperti itu.” 

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras. Namun ironisnya, ia hanya sanggup merobohkan 7 batang pohon.

Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, namun malangnya, hasilnya tak kunjung memuaskan. Kian bertambah hari, kian sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan hasil kerjaku ini?” Penebang pohon putus asa. Dengan kepala tertunduk, dia menghadap majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang maksimal. Sang majikan pun bertanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”

“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga,” kata sang pemuda.

“Nah, di sinilah masalahnya”, ujar sang majikan. “Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari berikutnya, dengan tenaga dan kapak yang sama, tetapi tidak diasah, hasilnya tentu makin menurun. Maka, sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu!” perintah sang majikan.

Si pemuda kemudian berlalu untuk segera mengasah kapak.

***

Kisah di atas dapat direfleksikan dengan kebutuhan manusia akan sesuatu, yang dirasa perlu dilakukan secara temporal, demi menunjang kebahagiaan. Jika kapak perlu diasah, maka fisik perlu diasupi makanan. Jika kapak perlu diasah sehari sekali, maka fisik perlu diasupi makan 3 kali sehari. Lalu bagaimana dengan jiwa? 

Subhanallah. Allah telah memilihkan manusia sebagai khalifah di bumi bukan tanpa bekal. Selain bekal lahiriah berupa segala wujud alam yang siap dikonsumsi, Allah juga telah mempersiapkan syari’at, baik melalui Quran maupun Alhadits. Tentunya bukan sekedar memenuhi asupan gizi fisik manusia, melainkan asupan ruh, alias keimanan manusia. 

Jika makan pun, kita perlu 3 kali sehari, maka Allah bekalkan dalam syariat, sholat 5 kali sehari. Jika Allah bekalkan liburan secara mental setiap sabtu dan ahad, maka Allah bekalkan sholat Jumat sebagai bekal ruhyah diri. Lho, Jumatan kan untuk pria saja? Bagaimana dengan wanita? Masya Allah, masih saja ada pertanyaan seperti ini. Lalu, apakah fungsi suami? Apakah pula fungsi seorang ayah yang memiliki hak perwalian kepada anak perempuannya? (bersambung)

Senin, 20 Mei 2013

Istiqomah dalam Galau


Judul yang sendu dan kontroversial, tentu. Namun, jika meneropong kondisi kekinian dan kekhasan lokasi, maka model galau ini nyata adanya. Masalahnya sekarang; galau model ini baik atau tidak?

Merujuk pada sebuah kondisi di mana seseorang berada di lingkungan yang liar, jauh dari harapan, dan sangat tidak sesuai dengan suara hati dan iman, maka istiqomah dalam galau ini murni diperlukan, tetapi dengan syarat tertentu. Untuk memberikan gambaran, saya ceritakan satu kasus.

Pernah ada cerita tentang seorang lulusan PT Kedinasan yang kental idealismenya, harus bergumul dalam sistem korps yang memaksa dirinya untuk bermain kotor (bahasa kasarnya; korupsi). Tanpa menyebut nama korps itu, kita bisa paham bagaimana tamparan yang harus diterima sosok itu. Kegalauan yang mengguncang, idealisme yang dipaksa padam, iman yang dipaksa angkat tangan.

Kini, sosok itu harus merasakan dunia di bawah schizophrenia (penyakit jiwa berhalusinasi) akibat kurang mampu menahan gempuran serangan idealisme kotor itu. Sosok itu jujur bukan saya, walaupun tajuk saya juga schizy (hehe). Namun, alangkah idealisme itu pada dasarnya perlu dibuat bentuk-bentuk fleksibel tertentu demi memudahkan diri untuk mengadaptasi diri. Bukan lantas kita ikut kotor-kotoran. Bukan! Melainkan, lebih kepada bermain cantik, kreatif, dan tetap memasang plank “mengharap ridho Allah” di hati terdalam kita.

Sebuah ungkapan bertajuk perception is projection menisbatkan bahwa persepsi kita akan membentuk apa jadinya kita. Seseorang yang merasa berdosa maka jangan lantas membentuk persepsi “saya akan masuk neraka”, tapi cari jalan keluarnya; alias bertaubatlah. Namun, jika dosa itu silih berganti menusuk nusuk, maka kegilaan bisa merasuk dan pada akhirnya stess sekelas schizophrenia bisa merangsek masuk. Hiii... Dalam hal ini, penting adanya ilmu, bagaimana hal tersebut bisa diatasi dengan lebih bijak, lebih mendatangkan keridhoan Allah.

Dalam satu bahan kajian ‘risywah’ alias ‘suap’, ada sebuah submateri mengenai dispensasi risywah. Mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan seseorang untuk memperoleh haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Salah satu modelnya begini: Seseorang terpaksa menjalankan aksi risywah karena institusi tempat ia meminta jasa takkan bisa cepat menjalankan jasa jika tak ada risywah. Singkat kata: tidak ada jalan lain. Maka yang berdosa adalah oknum institusi itu. Model ini dimaknai sebagai wajib bersyarat, wajib karena sistem yang terlanjur kotor. Namun, ada satu catatan yang tak boleh ketinggalan. Keep istiqomah dalam galau!

Istiqomah dalam galau adalah menyulap hati untuk selalu berlaku ‘awas’, mengedepankan ‘waspada’ (bukan suudzon), seolah sebuah detektor keburukan sudah diinstal dalam lajur hati kita. Sikap ini mampu meningkatkan sensitivitas hati untuk selalu mewaspadai potensi-potensi hal kotor di lingkungan kita, dalam konteks pekerjaan, dalam interaksi antar-manusia. Sinyal kewaspadaan ini diikat dengan satu syarat; iman yang kuat, tak mudah terombang-ambing oleh situasi kondisi.


Bentuk super dan perfeksionis atas model galau ini adalah tindakan nyata dan terpadu untuk menghancurkan sistem keburukan yang ada. Adapun bentuk terlemahnya adalah; senantiasa istiqomah dalam galau sambil terus berpegang kepada tali agama Allah. Ternukil hadits berikut: Siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengingkari dgn tangannya, kalau tak mampu, maka dgn lisannya, & jika tak mampu juga maka dgn hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman (HR Tirmidzi).  Semoga bisa bertahap mengupayakannya...

Jumat, 10 Mei 2013

Rumus Mati itu Cuma Satu: Dia Tidak Punya Rumus

Kalau saja belum tahu kajian Riyadhus Shalihin tentang keharusan untuk fokus di khutbah Jumat dan dilarang mencatatnya, pastilah penulis sudah catat setiap khutbah bagus untuk dishare di blog ini. Alhasil, semampu daya pikir ini saja hikmah yang terkandung dalam khutbah dapat diberanjang.

Khutbah kali ini (10/5/2013) disampaikan oleh Ustad Jumharuddin, di Masjid An Nur PJMI. Beliau memancang dalil Quran yang sangat menampar; Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya (QS Qof: 19).
 
Mati, sebuah kata yang selalu ‘nyambung’ jika dibicarakan oleh orang dari berbagai disiplin ilmu. Jika kebiasaan kita adalah menggenapkan usia dihitung dari 0 kita lahir terus bertambah sampai akhirnya mati, maka akan lebih mengingat mati jika kita hitung mundur dari angka 40, 30, 20, 10, 5, hingga akhirnya mati. Lalu bagaimana kita mau menghitung? Dari angka berapa? Itulah dia; mati punya satu rumus bahwa dia tidak punya rumus. 

Hasan Bashri berkata bahwa manusia itu sejatinya adalah sekumpulan hari-hari. Jika hari-hari terus berlalu, maka akan tanggal tiap bagian tubuhnya. Rambut tanggal menjadi uban, gigi rontok, kulit berganti, terus menerus hingga akhirnya totalitas dirinya tanggal dari kehidupan dunia ini.

Dunia ini pun ibarat lomba rally, yaitu lomba yang diikuti oleh berbagai kendaraan; ada mobil balap, motor balap, metro mini, bajaj, becak, sepeda. Mereka semua berlomba, dengan satu hal pasti; semua kendaraan itu akan sampai ke garis finish. Apakah lomba itu adil? Tentu tidak. Begitu pula dunia ini. Ada yang lahir langsung kaya, ada pula yang miskin, tapi satu yang pasti; semua akan mati. 

Waktu adalah uang. Harusnya, kita memahami bahwa waktu itu lebih baik daripada sekedar uang. Buktinya, jika kita punya uang 1 milyar, kemudian kita divonis akan mati, kecuali dengan pengobatan seharga 1 milyar itu, pasti kita akan mengorbankan uang daripada mati kita. Itu artinya waktu lebih baik daripada uang. Nah, sekarang coba main logika; kita akan dianggap bodoh jika membuang-buang uang 1 milyar. Namun, jika kita membuang-buang waktu, akankah kita pantas menyematkan kata ‘bodoh’ pada diri kita? Sungguh, logika uang dan waktu, layak kita pahami lebih dekat.

Coba main logika lagi; kalau tidak ada yang namanya mati, pasti semua agenda akan kita anggap penting. Namun, jika ada ‘mati’, pasti kita baru bisa memilih mana yang penting, mana pula yang lebih penting. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prioritas itu muncul karena waktu yang kita miliki ini terbatas. Itulah kenapa kita harus melakukan yang lebih penting daripada yang penting, bahkan daripada yang tidak-tidak penting. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Rasulullah pun berpesan untuk mengingat mati. Karena mengingat mati itu dapat menyadarkan kita akan pentingnya prioritas. 

Bayangkan ada seorang pemilik rumah mewah yang mau menyewakan rumahnya dengan harga murah. Namun, dengan satu syarat saja: jika sewaktu-waktu pemilik ingin rumahnya kembali, maka penyewa harus merelakan seisi rumah, kecuali baju yang penyewa pakai. 

Seorang penyewa pun bersedia. Setahun, dua tahun ia menyewa rumah. Ia hiasi rumah itu hingga puluhan juta rupiah habis, hingga tiba tahun ketiga, jam dua malam, pemilik ingin rumahnya kembali. Akhirnya, penyewa digelandang begitu saja; semua hartanya pupus, ia hanya berpakaian ala kadarnya. Begitulah kehidupan dunia yang dibatasi oleh ‘mati’. “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (Al A’laa 17)”. “Alangkah pantas jika kita agendakan mati; dalam garis hidup kita”, ujar ustad Jumhar. Demikian sedikit yang dapat dihimpun dari khutbah beliau. :(

Rumus Madani ala Hidayat Nur Wahid adalah IMM

IMM di sini bukan berarti ikatan mahasiswa muslim lho. IMM dalam kacamata mantan Ketua MPR itu adalah akronim dari 3 kata, yakni Iqro’, tidak maido, dan tidak madani (1 bahasa arab+2 bahasa jawa). Ketiganya adalah rumus terbentuknya kehidupan yang madani (kehidupan ala Madinah).

Menginjak pukul 21.45, hadirin Great Event IMM yang bertempat di ruang megah Student Center STAN, dibuat tertawa oleh kilahan ustad Thamrin di atas panggung yang membacakan  pesan panitia kegiatan (dengan ekspresi canda); “Ustad disuruh turun sekarang, karena tamu besar sudah datang.” Begitu tamu besar di atas panggung, pesan balik pun disampaikan, “Bersiaplah untuk tidak tertawa.” 

Ustad HNW memulai materi dengan pembahasan ‘civil society’. Civil society itu tak ada akhirnya, ia merupakan pencarian tiada henti, tak pernah pula ada rujukannya. Di masa kini, civil society diidentikkan dengan demokrasi. Padahal, seperti kita tahu, demokrasi berasal dari akar bahasa Yunani. Sementara Yunani masa kini tak ubahnya negeri kolaps. Lalu, dimanakah civil society itu?

Civil society berbeda dengan MADANI. Madani merupakan bentuk peri-kehidupan yang ada rujukannya, yakni pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah. Di sini AlQuran punya peran signifikan.

Banyak orang bilang secuplik ungkapan tabu, ‘sebelum jilbabi kepalaku, aku mau jilbabi hatiku dulu’. Padahal perintah jilbab sudah jelas dalam Islam. Bahkan, jilbab dianggap sebagai terminology Arab. Fakta yang terjadi, sebelum Rasulullah belum ada jilbab. Ini artinya, jilbab adalah terminology Quran.

Sama halnya dengan agenda 2007 tentang isu UU pornografi dan pornoaksi. Mereka para kritikus menganggap bahwa UU ini merupakan agenda Arab, padahal bukan. Kejadian semacam ini makin memojokkan Islam dengan peri-kehidupan madani-nya justru terkesan menakutkan (Jawa: medeni).

Di zaman Nabi, Suku Salimah pernah meminta agar Nabi mengizinkan mereka pindah mendekat ke Masjid Nabawi. Namun, dengan tegas Rasul bilang tidak perlu. Hal ini menjadi pertimbang Rasulullah agar wilayah yang didiami suku Salimah ini tetap berperadaban, bahkan mencerahkan (madani)

Tiga rumus madani pun dipaparkan. Rumus yang pertama adalah iqro’. Sebuah analogi kritis tentang dosen hebat adalah dosen yang menyuruh mahasiswanya mencari buku sebanyak mungkin, mengikuti seminar dan diskusi sebanyak mungkin, kemudian siap debat dengan saya! Kata si dosen. Sementara dosen payah adalah yang menyuruh mahasiswanya mencatat tak berkesudahan. Dari iqro’ ini, sudah dapat dilihat bahwa muslim harus selalu menimba ilmu dengan membaca. Bahkan kehidupan madani dapat dicapai jika seluruh rakyatnya paham agama karena membaca.

Rumus yang kedua adalah M untuk kata ‘tidak maido’ (bahasa Jawa). Tidak maido berarti ‘tidak menyalahkan’ atau solutif. Seperti kasus Khalid bin xxx (unrecord) yang dikirim belajar ke Persia, negeri kaum Majusi penyembah api. Orang akan berpikiran, ‘kenapa dikirim belajar ke negeri kafirun?’ Padahal, di lain sisi; ‘hikmah itu barang hilang orang muslim. Siapa mendapatkan, dialah yang paling berhak’ (HR Tirmidzi). Itulah kenapa banyak tokoh muslim dari luar Arab seperti Bilal bin Rabbah dari Habasyah, Salman Al Farisi dari Persia, dan Suheib ar Rumi dari Romawi.

M yang terakhir adalah tidak madani, bahasa Jawa dari tidak menyamakan. Lebih jelasnya; berpikir kreatif-inovatif, tidak statis. Itulah ketiga rumus peri-kehidupan madani yang perlu dicetuskan. Mengakhiri materi, ustad HNW mencuplik ayat terakhir An-Nashr dengan hikmah: kalau kehidupan Madani sudah menang, bukan arogansi yang dilakukan, melainkan bertasbih dan memohon ampun. Ini artinya; kemenangan menisbatkan keunggulan spiritual yang luar biasa. Selesai pukul 22.22. :D