(ditulis untuk buletin An-Nahl Masjid An-Nur PJMI - edisi Rajab 3-2013)
Alkisah, seorang juragan kayu menggaji
seorang pemuda untuk menebang pohon di hutan. Dengan gaji yang besar, sang
pemuda pun bertekad bekerja semaksimal mungkin.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan
sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan
target waktu tertentu. Hari pertama bekerja, luar biasa. Si pemuda berhasil
merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, sang majikan pun terkesan sambil
bertutur, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya kagum dengan kemampuanmu.
Belum pernah ada yang sepertimu. Teruskan bekerja seperti itu.”
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya,
keesokan hari si penebang bekerja lebih keras. Namun ironisnya, ia hanya
sanggup merobohkan 7 batang pohon.
Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi,
namun malangnya, hasilnya tak kunjung memuaskan. Kian bertambah hari, kian
sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah
kehilangan kemampuanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan hasil kerjaku
ini?” Penebang pohon putus asa. Dengan kepala tertunduk, dia menghadap majikan,
meminta maaf atas hasil kerja yang kurang maksimal. Sang majikan pun bertanya,
“Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu
untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore
dengan sekuat tenaga,” kata sang pemuda.
“Nah, di sinilah masalahnya”, ujar sang
majikan. “Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, kamu
bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari berikutnya, dengan tenaga dan
kapak yang sama, tetapi tidak diasah, hasilnya tentu makin menurun. Maka,
sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar
setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang
mulailah mengasah kapakmu!” perintah sang majikan.
Si pemuda kemudian berlalu untuk
segera mengasah kapak.
***
Kisah di atas dapat
direfleksikan dengan kebutuhan manusia akan sesuatu, yang dirasa perlu
dilakukan secara temporal, demi menunjang kebahagiaan. Jika kapak perlu diasah,
maka fisik perlu diasupi makanan. Jika kapak perlu diasah sehari sekali, maka
fisik perlu diasupi makan 3 kali sehari. Lalu bagaimana dengan jiwa?
Subhanallah. Allah telah memilihkan
manusia sebagai khalifah di bumi bukan tanpa bekal. Selain bekal lahiriah
berupa segala wujud alam yang siap dikonsumsi, Allah juga telah mempersiapkan
syari’at, baik melalui Quran maupun Alhadits. Tentunya bukan sekedar memenuhi
asupan gizi fisik manusia, melainkan asupan ruh, alias keimanan manusia.
Jika
makan pun, kita perlu 3 kali sehari, maka Allah bekalkan dalam syariat, sholat
5 kali sehari. Jika Allah bekalkan liburan secara mental setiap sabtu dan ahad,
maka Allah bekalkan sholat Jumat sebagai bekal ruhyah diri. Lho, Jumatan kan
untuk pria saja? Bagaimana dengan wanita? Masya Allah, masih saja ada
pertanyaan seperti ini. Lalu, apakah fungsi suami? Apakah pula fungsi seorang
ayah yang memiliki hak perwalian kepada anak perempuannya? (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar