IMM di sini bukan berarti ikatan mahasiswa muslim lho. IMM dalam
kacamata mantan Ketua MPR itu adalah akronim dari 3 kata, yakni Iqro’, tidak
maido, dan tidak madani (1 bahasa arab+2 bahasa jawa). Ketiganya adalah
rumus terbentuknya kehidupan yang madani (kehidupan ala Madinah).
Menginjak pukul 21.45, hadirin Great Event IMM yang bertempat di ruang
megah Student Center STAN, dibuat tertawa oleh kilahan ustad Thamrin di atas panggung
yang membacakan
pesan panitia kegiatan (dengan ekspresi
canda); “Ustad disuruh turun sekarang, karena tamu besar sudah datang.” Begitu
tamu
besar di atas panggung, pesan balik pun disampaikan, “Bersiaplah untuk
tidak tertawa.”
Ustad HNW memulai materi dengan pembahasan ‘civil society’. Civil
society itu tak ada akhirnya, ia merupakan pencarian tiada henti, tak
pernah pula ada rujukannya. Di masa kini, civil society diidentikkan dengan demokrasi.
Padahal, seperti kita tahu, demokrasi berasal dari akar bahasa Yunani.
Sementara Yunani masa kini tak ubahnya negeri kolaps. Lalu, dimanakah civil
society itu?
Civil society berbeda dengan MADANI. Madani merupakan bentuk
peri-kehidupan yang ada rujukannya, yakni pemerintahan Rasulullah Saw di
Madinah. Di sini AlQuran punya peran signifikan.
Banyak orang bilang secuplik ungkapan tabu, ‘sebelum jilbabi kepalaku,
aku mau jilbabi hatiku dulu’. Padahal perintah jilbab sudah jelas dalam Islam.
Bahkan, jilbab dianggap sebagai terminology Arab. Fakta yang terjadi, sebelum Rasulullah
belum
ada jilbab. Ini artinya, jilbab adalah terminology Quran.
Sama halnya dengan agenda 2007 tentang isu UU pornografi dan pornoaksi.
Mereka para kritikus menganggap bahwa UU ini merupakan agenda Arab, padahal
bukan. Kejadian semacam ini makin memojokkan Islam dengan peri-kehidupan
madani-nya justru terkesan menakutkan (Jawa: medeni).
Di zaman Nabi, Suku Salimah pernah meminta agar Nabi mengizinkan mereka
pindah mendekat ke Masjid Nabawi. Namun, dengan tegas Rasul bilang tidak perlu.
Hal ini menjadi pertimbang Rasulullah agar wilayah yang didiami suku Salimah
ini tetap berperadaban, bahkan mencerahkan (madani).
Tiga rumus madani pun dipaparkan. Rumus yang pertama adalah iqro’.
Sebuah analogi kritis tentang dosen hebat adalah dosen yang menyuruh
mahasiswanya mencari buku sebanyak mungkin, mengikuti seminar dan diskusi
sebanyak mungkin, kemudian siap debat dengan saya! Kata si dosen. Sementara
dosen payah adalah yang menyuruh mahasiswanya mencatat tak berkesudahan. Dari
iqro’ ini, sudah dapat dilihat bahwa muslim harus selalu menimba ilmu dengan
membaca. Bahkan kehidupan madani dapat dicapai jika seluruh rakyatnya paham
agama karena membaca.
Rumus yang kedua adalah M untuk kata ‘tidak maido’ (bahasa Jawa).
Tidak maido berarti ‘tidak menyalahkan’ atau solutif. Seperti kasus Khalid bin
xxx (unrecord) yang dikirim belajar ke Persia, negeri kaum Majusi penyembah
api. Orang akan berpikiran, ‘kenapa dikirim belajar ke negeri kafirun?’ Padahal,
di lain sisi; ‘hikmah itu barang hilang orang muslim. Siapa mendapatkan, dialah
yang paling berhak’ (HR Tirmidzi). Itulah kenapa banyak tokoh muslim dari luar
Arab seperti Bilal bin Rabbah dari Habasyah, Salman Al Farisi dari Persia, dan
Suheib ar Rumi dari Romawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar