Jumat, 10 Mei 2013

Rumus Madani ala Hidayat Nur Wahid adalah IMM

IMM di sini bukan berarti ikatan mahasiswa muslim lho. IMM dalam kacamata mantan Ketua MPR itu adalah akronim dari 3 kata, yakni Iqro’, tidak maido, dan tidak madani (1 bahasa arab+2 bahasa jawa). Ketiganya adalah rumus terbentuknya kehidupan yang madani (kehidupan ala Madinah).

Menginjak pukul 21.45, hadirin Great Event IMM yang bertempat di ruang megah Student Center STAN, dibuat tertawa oleh kilahan ustad Thamrin di atas panggung yang membacakan  pesan panitia kegiatan (dengan ekspresi canda); “Ustad disuruh turun sekarang, karena tamu besar sudah datang.” Begitu tamu besar di atas panggung, pesan balik pun disampaikan, “Bersiaplah untuk tidak tertawa.” 

Ustad HNW memulai materi dengan pembahasan ‘civil society’. Civil society itu tak ada akhirnya, ia merupakan pencarian tiada henti, tak pernah pula ada rujukannya. Di masa kini, civil society diidentikkan dengan demokrasi. Padahal, seperti kita tahu, demokrasi berasal dari akar bahasa Yunani. Sementara Yunani masa kini tak ubahnya negeri kolaps. Lalu, dimanakah civil society itu?

Civil society berbeda dengan MADANI. Madani merupakan bentuk peri-kehidupan yang ada rujukannya, yakni pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah. Di sini AlQuran punya peran signifikan.

Banyak orang bilang secuplik ungkapan tabu, ‘sebelum jilbabi kepalaku, aku mau jilbabi hatiku dulu’. Padahal perintah jilbab sudah jelas dalam Islam. Bahkan, jilbab dianggap sebagai terminology Arab. Fakta yang terjadi, sebelum Rasulullah belum ada jilbab. Ini artinya, jilbab adalah terminology Quran.

Sama halnya dengan agenda 2007 tentang isu UU pornografi dan pornoaksi. Mereka para kritikus menganggap bahwa UU ini merupakan agenda Arab, padahal bukan. Kejadian semacam ini makin memojokkan Islam dengan peri-kehidupan madani-nya justru terkesan menakutkan (Jawa: medeni).

Di zaman Nabi, Suku Salimah pernah meminta agar Nabi mengizinkan mereka pindah mendekat ke Masjid Nabawi. Namun, dengan tegas Rasul bilang tidak perlu. Hal ini menjadi pertimbang Rasulullah agar wilayah yang didiami suku Salimah ini tetap berperadaban, bahkan mencerahkan (madani)

Tiga rumus madani pun dipaparkan. Rumus yang pertama adalah iqro’. Sebuah analogi kritis tentang dosen hebat adalah dosen yang menyuruh mahasiswanya mencari buku sebanyak mungkin, mengikuti seminar dan diskusi sebanyak mungkin, kemudian siap debat dengan saya! Kata si dosen. Sementara dosen payah adalah yang menyuruh mahasiswanya mencatat tak berkesudahan. Dari iqro’ ini, sudah dapat dilihat bahwa muslim harus selalu menimba ilmu dengan membaca. Bahkan kehidupan madani dapat dicapai jika seluruh rakyatnya paham agama karena membaca.

Rumus yang kedua adalah M untuk kata ‘tidak maido’ (bahasa Jawa). Tidak maido berarti ‘tidak menyalahkan’ atau solutif. Seperti kasus Khalid bin xxx (unrecord) yang dikirim belajar ke Persia, negeri kaum Majusi penyembah api. Orang akan berpikiran, ‘kenapa dikirim belajar ke negeri kafirun?’ Padahal, di lain sisi; ‘hikmah itu barang hilang orang muslim. Siapa mendapatkan, dialah yang paling berhak’ (HR Tirmidzi). Itulah kenapa banyak tokoh muslim dari luar Arab seperti Bilal bin Rabbah dari Habasyah, Salman Al Farisi dari Persia, dan Suheib ar Rumi dari Romawi.

M yang terakhir adalah tidak madani, bahasa Jawa dari tidak menyamakan. Lebih jelasnya; berpikir kreatif-inovatif, tidak statis. Itulah ketiga rumus peri-kehidupan madani yang perlu dicetuskan. Mengakhiri materi, ustad HNW mencuplik ayat terakhir An-Nashr dengan hikmah: kalau kehidupan Madani sudah menang, bukan arogansi yang dilakukan, melainkan bertasbih dan memohon ampun. Ini artinya; kemenangan menisbatkan keunggulan spiritual yang luar biasa. Selesai pukul 22.22. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar