Senin, 06 Mei 2013

Review Shiroh dan Kerinduan Hadirnya Rijal (Kajian Ustad Tifatul Sembiring)

Entah karena memang materinya atau karena penulis terlambat hadir. Yang jelas penulis merasa sebagian besar penuturan sang tamu besar mabit momentum itu (Sabtu, 28 April 2013@Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia) adalah tentang shirah Nabi alias sejarah kenabian. Tamu besar yang suaranya langsung terendus dari luar masjid megah itu adalah Ustad Tifatul Sembiring, Menkominfo RI tahun berjalan. 

Pembahasan al-ustad dimulai dari kalimat pertama di buku catatan penulis; ‘dakwah itu tidak seperti jalan tol’. Beliau mencontohkannya dengan ‘tahun duka cita kenabian’, tahun dimana Rasul Saw kehilangan dua pendamping dakwah; sang paman Abu Thalib dan sang istri Siti Khadijah. Bahkan, Rasulullah dan sahabat sempat diboikot selama 3 tahun. Rasul menderita kelaparan hingga meminta Khadijah merebus kulit sepatunya. Sungguh, cobaan yang jauh dari kalangan da’i zaman sekarang.

Shirah, kata ustad Tifa, dibahas tiga malam gak akan habis-habis. Dalam review shirah yang mengambil scene di Gua Hira, Rasulullah dipeluk Jibril di gua Hira, membuat keringat beliau keluar segede butir-butir jagung (riwayat Ibnu Hisyam). Padahal, malam di Arab begitu dingin dan menusuk tulang. Dalam kesempatan itu pula, Jibril bertutur, “Ya Muhammad, ana Jibril wa antum Rasulullah!” Muhammad terbirit-birit, lantas meminta kepada istrinya, “Zamiluuni, zamiluuni; selimuti aku, selimuti aku!” Siti Khodijah langsung menyelimuti suami tercintanya. Beginilah model baiti jannati, rumahku surgaku. Tatkala galau, sedih, berduka, maka istri tercinta tempat kembali terbaik. Eeaaa…

Melompat ke scene pasca wafatnya Abu Thalib dan Siti Khadijah, Rasulullah mengajak Zaid bin  Haritsah menuju Thaif, sebuah desa yang tanahnya subur dan penduduknya berpotensi menerima dakwah. Namun, penduduk Thaif keduluan dihasut Abu Lahab. Imbasnya, Rasul dilempari batu, bahkan darah beliau masih menetes walau sudah di luar Thaif. Ditawari Jibril agar penduduk Thaif dilempar gunung, Rasul menolak. Demikian kesabaran yang pantas menjadi inspirasi dai zaman sekarang. Usai peristiwa Thaif ini, Rasulullah curhat melalui berbait-bait doa yang berimbas pada turunnya surat Yusuf. Surat ini menjelaskan bahwa Yusuf lebih menderita daripada Muhammad.  

Perang Uhud tak kalah menyedihkan daripada peristiwa sebelumnya. Diprediksi bakal menang, situasi perang justru berbalik. Pihak muslim dihempas musibah. Ujungnya, Rasulullah dilempar pecahan besi, gigi beliau tanggal. Hamzah bin Abdul Muthalib wafat, jantungnya dimakan mentah-mentah oleh Hindun, dan telinganya dibuat mainan. Bukti kekejaman dan kezaliman model ini tak berhenti sampai di situ. Perang Salib menjadi bukti selanjutnya, dengan mengetengahkan kenyataan ayat 120 surat Al Baqarah, bahwa Yahudi dan Nashara tak pernah ridho sampai umat muslim masuk ke agama mereka. Inilah titik balik diperlukannya RIJAL; sosok yang jika hadir di satu tempat, maka tempat itu berubah. Mereka mendakwahi dan mengubah masyarakat menjadi lebih baik.

Sosok RIJAL meninggalkan tempat-tempat bersejarah di Indonesia, seperti Maluku (al-mulk – tempat banyak sekali kerajaan Islam), dan Irian (aurian – tidak pake baju). Walisongo menjadi RIJAL di bumi Indonesia, mereka disinyalir hidup berlainan zaman. Secara manhaj, mereka sukses menghapus sinkretisme dalam dunia Islam. Sayangnya, penulis Belanda menonjolkan hal itu kembali. Terbukti dari sudut pandang orang Jawa tentang ‘pak haji’, yakni sosok yang dianggap bisa menyembuhkan daripada tokoh alim ulama. Sungguh, pemahaman yang tabu dan diplintirkan penjajah. Di sisi lain, RIJAL adalah pejuang. Mereka berani mengorbankan nyawa demi keridhoan Allah. Rodhiitubillaahi robba, wabil Islaami diina, wabi Muhammadinnabiyyaw warasuulaa. 

Ustad Tifa menutup kajian dengan sajak; pak haji berpeci putih. Cukup segini dan terima kasih :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar