Entah karena memang materinya atau karena penulis terlambat hadir. Yang
jelas penulis merasa sebagian besar penuturan sang tamu besar mabit momentum itu
(Sabtu, 28 April 2013@Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia) adalah tentang shirah Nabi alias
sejarah kenabian. Tamu besar yang suaranya langsung terendus dari luar masjid
megah itu adalah Ustad Tifatul Sembiring, Menkominfo RI tahun berjalan.
Pembahasan al-ustad dimulai dari kalimat pertama di buku catatan
penulis; ‘dakwah itu tidak seperti jalan tol’. Beliau mencontohkannya dengan ‘tahun
duka cita kenabian’, tahun dimana Rasul Saw kehilangan dua pendamping dakwah;
sang paman Abu Thalib dan sang istri Siti Khadijah. Bahkan, Rasulullah dan sahabat
sempat diboikot selama 3 tahun. Rasul menderita kelaparan hingga meminta
Khadijah merebus kulit sepatunya. Sungguh, cobaan yang jauh dari kalangan da’i
zaman sekarang.
Shirah, kata ustad Tifa, dibahas tiga malam gak akan habis-habis. Dalam review
shirah yang mengambil scene di Gua Hira, Rasulullah dipeluk Jibril di gua Hira,
membuat keringat beliau keluar segede butir-butir jagung (riwayat Ibnu Hisyam).
Padahal, malam di Arab begitu dingin dan menusuk tulang. Dalam kesempatan itu
pula, Jibril bertutur, “Ya Muhammad, ana Jibril wa antum Rasulullah!” Muhammad
terbirit-birit, lantas meminta kepada istrinya, “Zamiluuni, zamiluuni; selimuti
aku, selimuti aku!” Siti Khodijah langsung menyelimuti suami tercintanya.
Beginilah model baiti jannati, rumahku surgaku. Tatkala galau, sedih, berduka,
maka istri tercinta tempat kembali terbaik. Eeaaa…
Melompat ke scene pasca wafatnya Abu Thalib dan Siti Khadijah,
Rasulullah mengajak Zaid bin Haritsah
menuju Thaif, sebuah desa yang tanahnya subur dan penduduknya berpotensi
menerima dakwah. Namun, penduduk Thaif keduluan dihasut Abu Lahab. Imbasnya,
Rasul dilempari batu, bahkan darah beliau masih menetes walau sudah di luar
Thaif. Ditawari Jibril agar penduduk Thaif dilempar gunung, Rasul menolak. Demikian
kesabaran yang pantas menjadi inspirasi dai zaman sekarang. Usai peristiwa
Thaif ini, Rasulullah curhat melalui berbait-bait doa yang berimbas pada
turunnya surat Yusuf. Surat ini menjelaskan bahwa Yusuf lebih menderita
daripada Muhammad.
Perang Uhud tak kalah menyedihkan daripada peristiwa sebelumnya.
Diprediksi bakal menang, situasi perang justru berbalik. Pihak muslim dihempas
musibah. Ujungnya, Rasulullah dilempar pecahan besi, gigi beliau tanggal.
Hamzah bin Abdul Muthalib wafat, jantungnya dimakan mentah-mentah oleh Hindun,
dan telinganya dibuat mainan. Bukti kekejaman dan kezaliman model ini tak
berhenti sampai di situ. Perang Salib menjadi bukti selanjutnya, dengan
mengetengahkan kenyataan ayat 120 surat Al Baqarah, bahwa Yahudi dan Nashara
tak pernah ridho sampai umat muslim masuk ke agama mereka. Inilah titik balik
diperlukannya RIJAL; sosok yang jika hadir di satu tempat, maka tempat itu
berubah. Mereka mendakwahi dan mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Sosok RIJAL meninggalkan tempat-tempat bersejarah di Indonesia, seperti
Maluku (al-mulk – tempat banyak sekali kerajaan Islam), dan Irian (aurian –
tidak pake baju). Walisongo menjadi RIJAL di bumi Indonesia, mereka disinyalir
hidup berlainan zaman. Secara manhaj, mereka sukses menghapus sinkretisme dalam
dunia Islam. Sayangnya, penulis Belanda menonjolkan hal itu kembali. Terbukti
dari sudut pandang orang Jawa tentang ‘pak haji’, yakni sosok yang dianggap
bisa menyembuhkan daripada tokoh alim ulama. Sungguh, pemahaman yang tabu dan
diplintirkan penjajah. Di sisi lain,
RIJAL adalah pejuang. Mereka berani mengorbankan nyawa demi keridhoan
Allah. Rodhiitubillaahi robba, wabil Islaami diina, wabi Muhammadinnabiyyaw
warasuulaa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar