Judul yang sendu dan kontroversial, tentu.
Namun, jika meneropong kondisi kekinian dan kekhasan lokasi, maka model galau
ini nyata adanya. Masalahnya sekarang; galau model ini baik atau tidak?
Pernah ada cerita tentang seorang lulusan PT Kedinasan yang
kental idealismenya, harus bergumul dalam sistem korps yang memaksa dirinya
untuk bermain kotor (bahasa kasarnya; korupsi). Tanpa menyebut nama korps itu,
kita bisa paham bagaimana tamparan yang harus diterima sosok itu. Kegalauan
yang mengguncang, idealisme yang dipaksa padam, iman yang dipaksa angkat
tangan.
Kini, sosok itu harus merasakan dunia di
bawah schizophrenia (penyakit jiwa
berhalusinasi) akibat kurang mampu menahan gempuran serangan idealisme kotor
itu. Sosok itu jujur bukan saya, walaupun tajuk saya juga schizy (hehe). Namun,
alangkah idealisme itu pada dasarnya perlu dibuat bentuk-bentuk fleksibel
tertentu demi memudahkan diri untuk mengadaptasi diri. Bukan lantas kita ikut
kotor-kotoran. Bukan! Melainkan, lebih kepada bermain cantik, kreatif, dan tetap
memasang plank “mengharap ridho Allah” di hati terdalam kita.
Sebuah ungkapan bertajuk perception is projection menisbatkan
bahwa persepsi kita akan membentuk apa jadinya kita. Seseorang yang merasa
berdosa maka jangan lantas membentuk persepsi “saya akan masuk neraka”, tapi cari jalan
keluarnya;
alias bertaubatlah. Namun, jika dosa itu silih berganti menusuk nusuk, maka
kegilaan bisa merasuk dan pada akhirnya stess sekelas schizophrenia bisa merangsek masuk. Hiii... Dalam hal ini, penting
adanya ilmu, bagaimana hal tersebut bisa diatasi dengan lebih bijak, lebih
mendatangkan keridhoan Allah.
Dalam satu
bahan kajian ‘risywah’ alias ‘suap’, ada sebuah submateri mengenai dispensasi risywah.
Mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Salah satu modelnya begini:
Seseorang terpaksa menjalankan aksi risywah karena institusi tempat ia meminta
jasa takkan bisa cepat menjalankan jasa jika tak ada risywah. Singkat kata: tidak ada jalan lain. Maka yang berdosa adalah oknum institusi itu. Model ini
dimaknai sebagai wajib bersyarat, wajib karena sistem
yang terlanjur kotor. Namun, ada satu catatan yang tak boleh
ketinggalan.
Keep istiqomah dalam galau!
Istiqomah dalam galau adalah menyulap hati untuk
selalu berlaku ‘awas’, mengedepankan ‘waspada’ (bukan suudzon), seolah sebuah
detektor keburukan sudah diinstal dalam lajur hati kita. Sikap ini mampu
meningkatkan sensitivitas hati untuk selalu mewaspadai potensi-potensi hal
kotor di lingkungan kita, dalam konteks pekerjaan, dalam interaksi
antar-manusia. Sinyal kewaspadaan ini diikat dengan satu syarat; iman yang kuat, tak mudah
terombang-ambing oleh situasi kondisi.
Bentuk
super dan perfeksionis atas model galau ini adalah tindakan nyata dan terpadu
untuk menghancurkan sistem keburukan yang ada. Adapun bentuk terlemahnya
adalah; senantiasa istiqomah dalam galau sambil terus berpegang kepada tali
agama Allah. Ternukil hadits berikut: Siapa
diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengingkari dgn
tangannya, kalau tak mampu, maka dgn lisannya, & jika tak mampu juga maka
dgn hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman (HR Tirmidzi). Semoga bisa bertahap mengupayakannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar