Senin, 20 Mei 2013

Istiqomah dalam Galau


Judul yang sendu dan kontroversial, tentu. Namun, jika meneropong kondisi kekinian dan kekhasan lokasi, maka model galau ini nyata adanya. Masalahnya sekarang; galau model ini baik atau tidak?

Merujuk pada sebuah kondisi di mana seseorang berada di lingkungan yang liar, jauh dari harapan, dan sangat tidak sesuai dengan suara hati dan iman, maka istiqomah dalam galau ini murni diperlukan, tetapi dengan syarat tertentu. Untuk memberikan gambaran, saya ceritakan satu kasus.

Pernah ada cerita tentang seorang lulusan PT Kedinasan yang kental idealismenya, harus bergumul dalam sistem korps yang memaksa dirinya untuk bermain kotor (bahasa kasarnya; korupsi). Tanpa menyebut nama korps itu, kita bisa paham bagaimana tamparan yang harus diterima sosok itu. Kegalauan yang mengguncang, idealisme yang dipaksa padam, iman yang dipaksa angkat tangan.

Kini, sosok itu harus merasakan dunia di bawah schizophrenia (penyakit jiwa berhalusinasi) akibat kurang mampu menahan gempuran serangan idealisme kotor itu. Sosok itu jujur bukan saya, walaupun tajuk saya juga schizy (hehe). Namun, alangkah idealisme itu pada dasarnya perlu dibuat bentuk-bentuk fleksibel tertentu demi memudahkan diri untuk mengadaptasi diri. Bukan lantas kita ikut kotor-kotoran. Bukan! Melainkan, lebih kepada bermain cantik, kreatif, dan tetap memasang plank “mengharap ridho Allah” di hati terdalam kita.

Sebuah ungkapan bertajuk perception is projection menisbatkan bahwa persepsi kita akan membentuk apa jadinya kita. Seseorang yang merasa berdosa maka jangan lantas membentuk persepsi “saya akan masuk neraka”, tapi cari jalan keluarnya; alias bertaubatlah. Namun, jika dosa itu silih berganti menusuk nusuk, maka kegilaan bisa merasuk dan pada akhirnya stess sekelas schizophrenia bisa merangsek masuk. Hiii... Dalam hal ini, penting adanya ilmu, bagaimana hal tersebut bisa diatasi dengan lebih bijak, lebih mendatangkan keridhoan Allah.

Dalam satu bahan kajian ‘risywah’ alias ‘suap’, ada sebuah submateri mengenai dispensasi risywah. Mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan seseorang untuk memperoleh haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Salah satu modelnya begini: Seseorang terpaksa menjalankan aksi risywah karena institusi tempat ia meminta jasa takkan bisa cepat menjalankan jasa jika tak ada risywah. Singkat kata: tidak ada jalan lain. Maka yang berdosa adalah oknum institusi itu. Model ini dimaknai sebagai wajib bersyarat, wajib karena sistem yang terlanjur kotor. Namun, ada satu catatan yang tak boleh ketinggalan. Keep istiqomah dalam galau!

Istiqomah dalam galau adalah menyulap hati untuk selalu berlaku ‘awas’, mengedepankan ‘waspada’ (bukan suudzon), seolah sebuah detektor keburukan sudah diinstal dalam lajur hati kita. Sikap ini mampu meningkatkan sensitivitas hati untuk selalu mewaspadai potensi-potensi hal kotor di lingkungan kita, dalam konteks pekerjaan, dalam interaksi antar-manusia. Sinyal kewaspadaan ini diikat dengan satu syarat; iman yang kuat, tak mudah terombang-ambing oleh situasi kondisi.


Bentuk super dan perfeksionis atas model galau ini adalah tindakan nyata dan terpadu untuk menghancurkan sistem keburukan yang ada. Adapun bentuk terlemahnya adalah; senantiasa istiqomah dalam galau sambil terus berpegang kepada tali agama Allah. Ternukil hadits berikut: Siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengingkari dgn tangannya, kalau tak mampu, maka dgn lisannya, & jika tak mampu juga maka dgn hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman (HR Tirmidzi).  Semoga bisa bertahap mengupayakannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar